Identitas
Film
Judul : Pope Francis A Man
of His Word
Tahun : 2018
Penulis
Skenario : Wim Wender
Perusahan Produksi : The Palindrome dan Centro Televisivo Vaticano
Selain menanggapi
persoalan sosial ini, produser film Wim Wender juga menampilkan sosok Paus
Fransiskus yang ramah terhadap para petani dan pekerja, pengungsi, anak-anak
dan orang tua, narapidana dan orang-orang yang tinggal di daerah kumuh.
Berhadapan dengan situasi demikian, Paus Fransiskus tidak mengambil jarak,
tetapi justru merangkul, menyapa dan melakukan dialog dengan mereka, layaknya
sebagai sahabat. Semua gestur tubuh dan suara pro-kemanusiaan Paus Fransiskus dalam
film ini adalah bentuk komitmennya untuk pembaharuan Gereja Katolik di masa
yang akan datang.
Gereja
Mesti Berpihak Kepada Siapa?
Pada
saat pertama kali saya menonton film Pope
Francis: A Man of His Word, hal pertama yang membuat saya terkesan ialah di
mana-mana Paus Fransiskus selalu menampilkan sosoknya yang mudah tersenyum
dengan siapa saja. Berhadapan dengan anak-anak, orang tua, para pekerja,
pengungsi dan orang terpinggirkan, Paus Fransiskus tetap memberikan senyuman
yang sama. Baginya “senyum adalah bunga hati” yang menunjukkan rasa solidaritas
kemanusiaan terhadap orang lain, terlebih khusus orang yang tertindas dan
terkucilkan oleh masyarakat.
Film
ini memberikan gambaran kepada semua orang bahwa Paus Fransiskus telah, sedang
dan akan menunjukkan sikap dan pemikirannya terhadap pelbagai persoalan yang
menimpa Gereja Katolik saat ini. Paus ingin mereformasi otentisititas dan integritas
Gereja Katolik untuk kembali pada jalan yang mengedepankan kasih. Pilihan
terhadap jalan kasih adalah bagian dasar dari tugas Gereja yakni membawa dan
membebaskan umat dari segala bentuk penindasan (Bdk. Lukas 4: 18-19).
Pada kesempatan visitasi di pemukiman kumuh-Brasil, Paus
Fransiskus menunjukkan komitmen kasihnya terhadap orang-orang miskin. Paus
mengatakan ‘’Atas nama Gereja Katolik saya minta maaf terhadap kalian semua,
sebab Gereja saat ini sedang mengalami kehilangan kemampuan mendengar dari
orang-orang miskin dan tertindas”. Paus mengeluarkan pernyataan seperti ini,
karena dia melihat banyak orang Katolik yang mempercayakan Kristus, tetapi kurang
berbela rasa terhadap orang miskin. Banyak penganut agama Katolik justru membangun
tembok pemisahan antara orang miskin dan kaya. Ironisnya, kenyataan ini bukan
hanya dari kalangan umat Katolik biasa, melainkan juga anggota-anggota Klerus yang
berlomba-lomba menimbunkan harta. Terhadap kenyataan ini, Paus mengecam secara
tegas: ‘’Gereja yang menginginkan kekayaan, tanpa mempedulikan orang lain, di
sana tidak ada Kristus yang hadir.’’ Kristus hadir apabila Gereja hidup dalam
kesederhanaan dan kaya dalam pelayanan.
Setelah
terpilih menjadi Paus, Jorge Mario Bergoglio menawarkan sebuah pola
kepemimpinan yang baru yakni mengutamakan gaya hidup sederhana daripada gaya hidup
elitis. Hal ini dibuktikan oleh Paus Fransiskus yakni lebih memilih hidup di apartemen
sederhana daripada tinggal di rumah kepausan. Pilihan hidup sederhana adalah
bentuk penghayatan Paus Fransiskus terhadap spiritualitas Santo Fransiskus yang
berani memilih hidup miskin daripada hidup dalam kemewahan serta bentuk
kepeduliannya terhadap orang-orang miskin dan orang-orang tertindas.
Menurut
Paus Fransiskus, umat Katolik saat ini tidak membutuhkan pengetahuan teologi
yang tinggi, melainkan membutuhkan kesaksian hidup yang baik, kepedulian,
kemurahan hati, dan bela rasa dari
Gereja terhadap orang-orang yang membutuhkan. Pengetahuan teologi hendaknya adalah suatu komitmen dari iman
seseorang untuk dapat bertindak serta melakukan sebuah aksi nyata dalam membantu
kehidupan bersama yang lebih baik. Terhadap teologi yang semacam ini, kita
dapat menekannya dalam cara hidup Paus Fransiskus. Di mana, Paus menekankan
agar hendaknya Gereja lebih dekat dengan kaum miskin dan tertindas. Sebab,
Gereja dipanggil untuk membawa dan membebaskan umat dari segala bentuk
penindasan.
Edt Aldi J