Oleh Maria Flaviana Naida
Editor Aldi J
Keheningan menemani malam hari. Angin sepoi-sepoi
menerpa wajahku dan dinding-dinding rumah. Betapa dinginnya. Aku pun mengenang
kembali kisah lama sembilan tahun yang lalu. Tantangan kehidupan sudah mulai.
Minggu 28 Oktober 2010 pukul 04.00 Wib, ayahku
menghembuskan nafas terahirnya di Anam. Ayah menitip pesan kepada Ibu
“jangan pernah sesekali kamu menyakiti anak perempuanmu, apalagi sampai engkau memukulnya. Ketahuilah, Dia adalah pengganti dirimu kelak. Apabila anak laki-laki kita ingin sukses suruh mereka latih mandiri. Ketahuilah hidup tanpa seorang kepala keluarga dalam sebuah keluarga dimata orang lain kalian bagaikan sampah”.
Setelah menitip pesan tersebut, ayah pun pergi tak-kan pulang kembali.
Tangisan keluarga dan kerabatnya menggema seisi rumah. Ayah tak-kan kembali lagi.
Seiring berjalannya waktu, tak terasa ayah sudah
setahun di alam sana. Ibu mulai mengaso kamui dengan penuh tantangan. Menjadi
seorang janda bukanlah hal yang mudah. Ini bukan tentang daun pepaya yang
direbus tanpa racikkan bumbu. Ini adalah kisah kehidupan yang rumit.
“Nak kamu mau SMP dimana, di Pongkor atau di Ponggeok? tanya ibuku
“Ibu semua terserah padamu, intinya aku bisa
melanjutkan pendidikan” jawabku
“Baiklah nak kalau begitu besok kita ke Ponggeok biar
kamu lanjut disana”kata
ibuku
“Iya bu”jawabku singkat.
Jauh dari seorang ibu adalah pengalaman pertama dalam
sejarah hidupku. Apalagi aku seorang putri tunggal. Apabila kalian berada
diposisiku kalian akan mengerti arti kesepian hidup sebenarnya.
Hari pertama masuk sekolah aku sangat ragu dan masih
gugup. Menjadi pendiam di kelas adalah pilihanku.
“Hay kamu Avin yach? kata kakak kelasku
“Iya kak” gumaku
“Ini ada sebuah surat untukmu” lanjutnya
“Dari siapa kak”
“Baca saja nanti kamu tahu” jawabnya singkat.
Aku mulai baca surat tersebut penuh teliti, karena aku
tidak tahu asal usul surat itu dari siapa.
Dear gadis manis
Ku ingin engkau tahu satu hal penting, aku memiliki kesalahan saat pertama kali aku memandang paras cantikmu. Kecantikkanmu terbawa dalam mimpiku semalam. Aku ingin kamu tahu tentang kesalahan dibalik tirai rasa itu. Jujur, aku bukan seorang yang begitu mahir dalam bercinta, setelah aku memandang keelokan tubuhmu, aku ingin memilikimu. Izinkan aku mencintaimu. Jika engkau menerima perasaanku lewat secarik kata dalam kertas yang tidak berguna ini, mohon kamu balas. Saya tunggu.
Setelah membaca surat tersebut, aku keringat seketika.
Aku tidak tahu apa-apa tentang dunia cinta. Untuk mengharagai perasaannya, aku
menerima suratnya dengan tulus. Aku pun langsung membalas surat itu dan kirim
kepadanya lewat seorang temanku.
Seiring berjalannya waktu hubungan kami berjalan hingga
satu tahun lamanya.
Biasanya sebelum mulai ujian, kami semua harus melunasi tunggakan sekolah. Terpaksa aku pulang ke kampung memberitahu ke ibu. Ketika tiba di rumah, ibu menyambutku dengan tangisan, dalam benakku mungkin ibu tidak senang jika aku pulang ke rumah. Iya merangkulku dan membisik,
“nak, kehidupan kita sangat menderita, semua
keluarga pelan-pelan menjauhi kita”.
Aku diam dan menetes air mata, merangkul ibuku penuh
haru. Keesokan harinya aku kembali ke asrama. Tangisan sang ibu masih melintasi
dan menghiasai imajinasiku
Selama empat hari mengikuti ujian tanpa halangan
apapun. Hari kelima kami semua anak asrama pulang kampung. Sampai di rumah, aku
pun disambut seperti sebelumnya. Tangisan sang ibu.
Selama liburan aku selalu membantunya dan memperhatikan apa yang iya lakukan. Beberapa hari kemudian aku mengikuti Ibu dari belakang. Aku melihat ibu pergi ke rumah tetangga untuk bekerja. Tapis beras adalah pekerjaan ibuku untuk mendapat upah dua puluh ribu rupiah. Itu pukulan keras bagiku hingga aku menangis. Apalagi ayah sudah pergi tidak pernah kembali. Ketika iya pulang ke rumah, aku memeluknya erat dan menetes air mata pada pipiku yang bebas kusam.
Ibu terimakasih atas cinta dan pengorbananmu untuk aku. Aku sadar dan tahu bagaimana penderitaan dan perjuanganmu untuk menghidupkan kami anak-anakmu. Ibu kamu adalah Bunda Mariaku.
Nak ini menjadi tanggungjawab ibu, karena ayahmu
serahkan semua padaku. Guma
sang ibu sambil memeluk dan entap pelan punggungku.
Beberapa bulan kemudian aku menerima amplop berita
lulus. Puji Tuhan, Aku lulus dengan memperoleh nilai yang luar biasa.
Setelah Ibu membaca surat lulus itu, iya pun bertanya,
nak kamu mau SMA dimana ?
Terserah ibu intinya aku sekolah, terserah ibu saja, jawabku singkat.
Keesokkannya aku pergi ke Ruteng, tapi ibu tidak ada
sepeser pun uang untuk biaya pendaftaran sekolah. Pagi-pagi iya bangun pergi
meminjam uang di tetangga, namun tidak membuah hasil. Aku melihat wajahnya, tampaknya
sedih sekali, karena tak satupun yang membantu keperluannya.
Kebetulan di rumah ada biji cacao yang siap di jual.
Ibu menjual biji cacao tersebut seratus ribu sebagai modal untuk pergi ke
Ruteng.
Singkat cerita, menjadi salah satu siswa diantara ratusan
murid adalah hal yang baru bagiku. Untuk meraih mimpi dan kesuksesan bukanlah
hal yang mudah, mesti ada perjuangan dan pengorbanan.
Tidak terasa tiga tahun lamanya aku berjuang dan bisa menyelesaikan
pendidikan menengah atas, dan tergolong siswa berprestasi sepuluh besar. Ini
semua berkat doa dan pengorbanan sang ibu, juga doa dari ayah yang beda alam.
Setelah selesai SMA, aku tidak sabar untuk pulang kampung dan berjumpa dengan
sang Ibu.
Selamat siang Ibu, Aku sudah pulang, sapaku halus menuju pintu masuk rumah
Selamat siang sayang. Jawabnya sambil memeluk
dan mencium pipi dan dahiku.
Lalu sang Ibu menyiapkanku makanan ala kadarnya.
Berlibur dirumah adalah hal yang menyenangkan, karena
bisa bersama dengan adik, kakak, Ibu dan keluarga besar.
Suatu hari, sebelum ke kebun untuk membantu Ibu, handphoneku
berdering, tanda ada yang panggilan masuk.
Selamat pagi, benar ini dengan siswa atas nama Avin? Suara dibalik panggilan itu
Selamat pagi juga bu, iya ini dengan saya sendiri.
Kamu salah satu siswa yang mendapatkan beasiswa berprestasi
sejumlah 1.500.000, mohon datang pada saat kabar lulus nanti.
Iya bu saya pasti datang.
Beberapa minggu kemudian aku pergi ke Ruteng untuk
menerima surat kabar lulus dan beasiswa. Aku pun bisa berjumpa dengan
sahabat-sahabatku. Sembari menikmati suasana kota dingin.
Setelah selesai acara berita kelulusan Aku dan
saudaraku pulang dan memberi kejutan kepada sang Ibu di rumah.