(Dok. pribadi)
"AYAH, APA KABAR SAWAH KITA DI SANA?"
“Lanjutkan perjalananmu, ikuti kata hatimu. Saya mendukung kalian dalam doa. Ingat, sekarang sulit untuk generasi kamu menjadi orangtua yang berprofesi menjadi petani. Kata Opa Adreas. ” Saya paham apa tujuan dan maksudnya. Karena memang, hidup sekarang serba sulit. Apalagi kita yang datang dari dunia petani katanya, namun tak memiliki tanah. Kalau pun ada tanah sekarang sempit karena itu warisan kakek kepada ke empat anaknya. Setelah kakek pulang ke pangkuan bapa, tanahnya telah dibagikan kepada ke empat anaknya dengan pembagian yang adil dan sama rata.
Ayah dan paman-paman saya semuanya memilih menjadi petani. Dengan bermodalkan tanah yang sempit dan sisa-sisa pengalaman yang tersimpan di kepala yang diajarkan kakek kepada mereka.
Saya amat yakin mereka adalah petani yang handal karena bekal pengetahuan dari kakek juga terbentuk oleh pengalaman, situasi dan kondisi cuaca.
Bukan main. Mereka sangat pandai membaca tanda-tanda alam karena itu mereka tahu pada saat mana harus menanam Ini dan menanam itu. Takaran pupuk yang tepat untuk tanamannya.
Sekarang ayah melanjutkan warisan kakek berupa sebidang tanah yang telah ditanami kopi dan juga sepetak sawah. Terasa sekali kecintaan bapak dalam bertani. Saya sebagai anaknya tahu betul sifat ayah dan aktivitasnya setiap hari yang hampir monoton itu. Bangun pagi langsung ke sawah walau hanya se-jam atau dua jam lalu pulang untuk menikmati sarapan buatan istri tercintanya. Sarapan pagi kami hanya ubi kukus dan kopi sebagai temannya. Itu makanan sederhana namun terasa mewah mengalahkan segala jenis makanan mewah yang disajikan di rumah makan para pelancong di kota kami.
Kenapa demikian?
Kata ayah, Yang membuatnya mewah ialah karena ubi dan kopi yang ia seruput adalah buah dari kerja kerasnya. Hampir tidak ada makanan yang lebih nikmat di dunia ini selain menikmati makanan hasil jerih payah sendiri.
“Begitulah hidup, apa yang kamu tanam itu yang kamu tuai.” Keringat yang terbuang membuahkan hasil sampai mereka bertahan dalam hidup yang dinilai orang kota itu serba sederhana. Siapa yang peduli dengan penilaian yang subjektif itu. Yang tahu pasti kebenarannya ialah mereka sendiri yang menikmatinya. Soal rasa itu urusan masing-masing dan ukuran kebahagiaan seseorang bukan dilihat dari uang atau kemewahan.
Ya... Begitulah konsep hidup bahagia menurut ayah. Kopi dan ubi, istri dan anak-anak yang bersimpuh di atas tenda sambil menikmati hidangan buatan istri tercintanya. Sambil bercengkerama dengan menyelipkan petuah-petuah bagi anak-anaknya.
***
Belakangan ini, saya melihat ayah kewalahan dalam menanggung beban kebutuhan dalam keluarga.
Harga sembako mulai naik, harga pupuk yang melambung tinggi, harga panenan jatuh. Belum lagi cuaca yang tidak menentu yang membuatnya gagal panen. Harga gabah yang melukai hati para petani. Apa-apa serba naik dan sulit terjangkau oleh petani. Tidak hanya sembako atau pupuk yang mahal. Biaya pendidikan juga mahal. Membuat hidup tak menentu.
Apalagi tanggungan dan beban keluarga bertambah karena kami (saya, kakak dan adik) sudah duduk di bangku sekolah. Kakak sedang kuliah di kota sedangkan saya sekolah di tempat yang terbilang sedikit jauh dari rumah, untungnya saya masih bisa datang dari rumah. Itu lebih baik karena dari pada membayar kost. Selain itu, saya masih bisa membantu pekerjaan rumah sepulang sekolah.
Tidak ada pilihan lain selain berjalan kaki karena sepeda motor tak sanggup ayah beli. Walau demikian saya tetap bersyukur dan bangga dengan ayah yang berani menyekolahkan kami dan ia tidak peduli seberapa berat beban biaya pendidikan untuk kami. Meski pun bukan sekolah elit yang dipilih.
Hampir pasti, bahwa setiap orang memiliki mimpi agar bisa bersekolah di sekolah elit yang katanya memiliki mutu yang lebih baik dari sekolah-sekolah yang lain. Tapi apa boleh buat, ekonomi keluarga yang kurang mumpuni dan biaya pendidikan yang begitu mahal menjadi pembatas antara keinginan anak orang miskin dan anak orang kaya. Cita-cita anak orang miskin seakan dipangkas kalau memilih sekolah elit dan bermutu. Sudahlah....bukan itu yang lebih penting. Yang terpenting bisa sekolah, toh kualitas seseorang tidak tergantung di sekolah mana ia menempuh pendidikan.
Tapi tunggu dulu. Bukankah sekolah elit akan mempengaruhi penilaian orang? Kuliah di UGM dan UI menjadi tolok ukur kualitas anak-anak NTT? Begitulah pandangan gubernur. Sekuat apa pun usaha untuk menjadi baik dan berkualitas kita tetap tak diakui, kecuali kuliah di UGM dan UI sebagaimana yang dikatakan gubernur sendiri dalam beberapa hari lalu yang berseliweran di media terutama youtube walau tidak disebutkannya secara langsung memandang rendah para sarjana lulusan di NTT sendiri. Sungguh malang nasib kami.
Begitulah nasib kami anak NTT yang tak mampu bersekolah di sekolah elit. Apalagi saya anak orang miskin. Bisa menyelesaikan pendidikan dan mendapatkan ijazah dari sekolah yang sibuknya bukan hanya belajar tetapi juga harus bekerja membantu orangtua. Setidaknya ayah sudah puas telah melihat anak-anaknya menyandang gelar sarjana di belakang nama anaknya. Dipajangnya foto wisuda anak pertamanya yang ia dampingi sendiri. Terlihat dari raut wajah ayah dan ibu sangat bahagia melihat pencapaian anaknya.
Saya pun akui itu.
Lebih dari itu bagi saya, yang pertama dikatakan berhasil itu orangtua. Karena keberhasilan kakak bukan semata-mata perjuangan kakak sendiri. Kakak hanya membalas perjuangan mereka dengan menyelesaikan studi tepat pada waktunya. Itulah keberhasilan orangtua. Momen yang paling bahagia bagi ayah ialah saat ia melihat anaknya telah menyelesaikan sekolah. Ayah tak peduli setelah kuliah anaknya kerja di kantor atau tidak, yang terpenting ia telah menjadi sarjana.
Kini Ayah telah memanen usahanya sendiri dengan terselesaikannya kuliah anaknya yang pertama. Tinggal melanjutkan usahanya demi mimpi anaknya yang ke dua dan selanjutnya. Berharap nasib baik yang ia panen dari anak yang pertama sebagai cerminan bagi anaknya yang lain.
***
Perjuangan ayah masih panjang. Rambutnya mulai memutih. Ia masih menggoreskan sajak- sajak cinta di atas petak-petak sawah di sana. Hari ini saya merindukan saat kita berjalan bersama menyusuri petak-petak sawah pada liburan kali lalu.
Apa kabar ayah dan bagaimana keadaan sawah kita sekarang?
Oleh: NantoFabian
Tags
CERPEN