AKTUALISASI MORALITAS IMMANUEL KANT DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER PESERTA DIDIK DI INDONESIA

Oleh Sandry Geong
(dok.pribadi)

Menurut penulis, sekolah menjadi tempat strategis untuk membentuk karakter peserta didik. Hal itu ditandai oleh fungsi lembaga sekolah untuk mengembangkan kekayaan sumber daya manusia yang dapat diandalkan secara sistematis. 


    Diskursus tentang pendidikan karakter di Indonesia masih berada dalam persimpangan jalan. Banyak orang yang mengidealkan pendidikan karakter, tetapi realitasnya tidak sejalan dengan harapan tersebut. Hal itu terjadi karena adanya kontra produktif atau benturan nilai antara hal yang diajarkan guru dengan dukungan orangtua di rumah. Hal tersebut tentu saja dapat menghambat terciptanya pendidikan karakter yang optimal dan efektif. Pendidikan karakter di sekolah dapat berjalan optimal dan efektif, hanya apabila ada komunikasi antara orangtua dengan guru. Hal tersebut bertujuan agar terjadi sinkronisasi nilai-nilai pendidikan karakter yang diajarkan di sekolah  dengan yang diajarkan orangtua di rumah dalam membentuk karakter peserta didik (anak).


    Pendidikan karakter merupakan upaya untuk membantu perkembangan jiwa anak-anak, baik secara lahiriah maupun batiniah dari sifat kodratinya menuju ke arah peradaban yang manusiawi dan lebih baik.[1] Ratna Megawangi (2014) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai sebuah usaha mendidik seseorang agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang memiliki pendidikan karakter harus bisa memberikan kontribusi yang positif bagi lingkungan sekitarnya.[2] Seseorang dapat mengkualifikasi pikiran dan tindakannya dengan mengambil keputusan berdasarkan pada pertimbangan baik dan buruk. Dengan kata lain, pendidikan karakter selalu mempertimbangkan nilai baik dan buruk. Immanuel Kant membahasakan pertimbangan baik-buruk tersebut sebagai moralitas. Realitas yang tidak dapat disangkali saat ini adalah banyak peserta didik yang tidak memiliki karakter yang baik secara moral. Oleh karena itu, pendidikan karakter adalah salah satu opsi alternatif yang preventif dalam mengatasi fenomena tersebut. Pendidikan karakter diharapkan dapat mengembangkan kualitas peserta didik untuk memiliki karakter yang baik. Moralitas Immanuel Kant dapat dipadukan dalam pendidikan karakter peserta didik di Indonesia untuk mengatasi persoalan tersebut. Moralitas dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dan basis dalam membentuk karakter yang baik dari peserta didik di Indonesia.


Moralitas Immanuel Kant


    Pembahasan moralitas Immanuel Kant di sini tidak bermaksud untuk membicarakan secara tuntas pandangan filosofisnya tentang moral, melainkan sebagai isu kunci dalam merevitalisasi karakter peserta didik di Indonesia yang semakin merusak. Banyak persoalan yang terjadi belakangan ini membutuhkan perhatian khusus, termasuk persoalan karakter peserta didik. Moralitas Kant, ditawarkan sebagai salah satu acuan dalam menjawab persoalan tersebut. Immanuel kant adalah filsuf modern yang sangat berpengaruh. Pemikirannya yang analitis dan tajam memasang patok yang mau tak mau menjadi acuan bagi segenap pemikiran filosofis  kemudian. Sebagaimana halnya dengan sebelum Immanuel Kant, moralitas dicari dalam tatanan alam (Stoa, Spinoza) atau dalam hukum kodrat (Thomas Aquinas).[3] Hal tersebut berarti bahwa moralitas bukan lagi suatu perkara yang baru muncul dewasa ini, melainkan suatu perkara lama yang terus dipersoalkan. Banyak orang terus mempersoalkan moralitas dalam kehidupan bersama, sehingga berbagai pandangan pun muncul. Hal serupa dilakukan oleh Kant dengan mengkomposisikan konsep moralitasnya sendiri. Menurut Kant, sumber moralitas adalah kebebasan dalam diri subyek. Kebebasan itu menuntut subyek untuk melakukan suatu yang dikehendakinya. Kehendak yang dimaksud menjadi acuan bagi setiap subyek untuk menyatakan moralitas itu. Inti moralitas Kant menyangkut hal baik-buruk, tetapi bukan sembarang baik-buruk. Baik yang dimaksudkannya adalah yang baik pada dirinya sendiri, yang baik tanpa pembatasan sama sekali.[4] Kebaikan moral adalah yang baik dari segala segi tanpa pembatasan.[5]


  Kant mengandaikan paham kebaikan moral itu. Ia membuka penyelidikannya dengan sebuah kenyataan tentang apa yang baik tanpa pembatasan sama sekali. Yang baik tanpa pembatasan sama sekali hanyalah satu, yakni kehendak baik.[6] Kehendak baik yang ditawarkan Kant itu adalah sumber moralitas.


Sekolah sebagai Agen Pembentukan Karakter Peserta Didik


    Sekolah menjadi tempat strategis untuk membentuk karakter peserta didik. Hal itu ditandai oleh fungsi lembaga sekolah untuk mengembangkan kekayaan sumber daya manusia yang dapat diandalkan secara sistematis. Beragam profesionalitas dan kapabilitas para guru akan membantu peserta didik untuk menjadi pribadi yang berkarakter baik. Sekolah tidak boleh menjadi ruang edukatif yang melulu hanya mentranserkan ilmu pengetahun tanpa memperhatikan pembentukan karakter peserta didiknya. Pengetahuan kognitif harus seimbang dengan pendidikan karakter. Peserta didik pun hendaknya dibimbing dan diarahkan agar mampu menerapkan pengetahuan yang didapatkan di sekolah dalam kehidupan konkret bermasyarakat. Masyarakat mempercayai sekolah sebagai tempat untuk membina peserta didik, baik secara intelektual maupun psikososial. Hal serupa disampaikan oleh Ivan Illich. Dia berpendapat bahwa masyarakat selalu bergantung pada sekolah. Sekolah dilihat sebagai satu-satunya lembaga pendidikan yang memberikan hasil memuaskan bagi masyarakat dan peserta didik.[7]


    Sekolah bertanggung jawab bukan hanya mencetak siswa yang unggul dalam aspek intelektual, melainkan juga unggul dalam aspek kepribadian dan karakter. Sekolah bukanlah sekadar tempat “transfer of knowledge”. Guru tidak boleh hanya bermodalkan kemampuan transfer pengetahuan dari buku karena tuntutan kurikulum, tetapi guru juga harus mampu memberikan pengaruh bagi peserta didik. Sekolah mempunyai peran mendasar, yakni mengusahakan proses belajar yang berorientasi pada nilai (value, oriented enterpried).[8] Pendidikan yang berorientasi pada penanaman nilai akan menciptakan peserta didik yang berkarakter baik. Pendidikan yang berorientasi pada penanaman nilai itu harus berpatokan pada sosok seseorang guru, karena guru memiliki posisi sentral dalam lingkungan sekolah. Hal yang dari guru ialah memberikan teladan yang baik bagi peserta didiknya. Guru harus menjadi sosok yang dapat diteladani dan ditiru oleh para peserta didik. Hal tersebut perlu ditekankan karena aspek tersebut sudah hilang dari figur guru zaman sekarang. Guru mesti menempatkan pendidikan karakter peserta didik sebagai salah satu prioritas pengabdiannya. Namun, harapan itu ternyata sulit diwujudkan. Persoalan dasarnya adalah guru kurang memberikan teladan. Misalnya, guru menginginkan peserta didiknya rajin membaca, tetapi dia sendiri tidak melakukan hal itu. Hal konkret yang dapat dilihat adalah guru tidak menyiapkan bahan pelajaran secara baik, sehingga peserta didik pun merasa bosan untuk mempelajari materi yang diberikan.


Moralitas dalam Pembentukan Karakter Peserta Didik


    Salah satu persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia akhir-akhir ini adalah kepincangan moralitas para peserta didik. Banyak peserta didik yang acap kali melakukan tindakan immoral. Hal tersebut adalah bukti kegagalan pendidikan dalam membentuk karakter yang baik para peserta didik. Beberapa hari terakhir di salah satu SMP Swasta di Kabupaten Gresik dihebohkan oleh pemberitaan tentang seorang murid yang menantang gurunya. Ia diingatkan oleh sang guru karena kedapatan sedang merokok.[9] Peristiwa tersebut merupakan gambaran konkret tentang situasi buruk dari karakter peserta didik di Indonesia. Situasi buruk yang memprihatinkan tersebut harus segera diatasi. Berbagai cara untuk mengatasi persoalan tersebut. Moralitas Kant adalah salah satu tawaran alternatif untuk mengatasi persoalan tersebut. Sumbangan moralitasnya dapat diterapkan dalam program pendidikan karakter peserta didik di Indonesia. Sumbangan moralitas Kant tersebut setidaknya menjadi salah satu fundasi untuk membentuk karakter yang baik dari peserta didik.


    Dengan demikian, sumbangan moralitas Kant mempunyai korelasi yang jelas dalam membentuk karakter peserta didik di Indonesia. Moralitas Kant yang dimaksud di sini sebagai salah satu tawaran alternatif untuk mengatasi persoalan karakter peserta didik di Indonesia. Kiranya, dengan alternatif tersebut persoalan tentang karakter peserta didik di Indonesia dapat tereliminasi. Oleh karena itu, pendidikan karakter adalah salah satu opsi alternatif yang preventif dalam mengatasi fenomena tersebut. Pendidikan karakter diharapkan dapat mengembangkan kualitas peserta didik untuk memiliki karakter yang baik.

           

Rujukan:

[1]Prof. Dr. H. E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter (Jakarta: Bumi Aksara, 2018), hlm. 1.

[2]Drs. Dharman Kusuma, dkk., Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 5.

[3]Prof. Dr. Frans Magnis-Suseno SJ, 13 Tokoh Etika, Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19 (Yogyakarta: Kanisius, 2018), hlm. 140.

[4]Dr. Mathias Daven, “Epistemologi” (Bahan Kuliah, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 2018), hlm. 115.

[5]Prof. Dr. Frans Magnis-Suseno SJ, op.cit.,hlm. 143.

[6]Ibid.

[7]Marianus Mada, “Sekolah Agen Perubahan”, dalam seri vox 58:2 (Ledalero, Juni 2013), hlm. 158.

[8]Hariyono Sejuma, “Pendidikan Sejarah dan Karakter Bangsa: Sebuah Pengantar Dialog”, Jurnal Pendidikan Sejarah Indonesia, 1:1 (Jakarta, September 2018), hlm. 7.

[9]Dony Purnomo, “Murid Menantang Guru, Bukti Gagalnya Pendidikan Karakter”, Kompasiana, http://www.kompasiana.com/donypurnomo, diakses pada 27 April 2020.

wartatulis

wartatulis

إرسال تعليق

أحدث أقدم

Slider

Arsip Blog

Recent in Sports

3/recentposts

Wisata

Favourite

News Scroll

Subscribe Us

Pages

Facebook