TINGKATKAN PARTISIPASI SISTEM POLITIK HARUS DIIUKUTI TRANSFORMASI NILAI

(dok.pribadi)


BIODATA:

NAMA : EMILIANA SELNI

TTL : NDARI, 01 JULI 2000

JENIS KELAMIN : PEREMPUAN 

ALAMAT : REGO

KECAMATAN : MACANG PACAR

AGAMA : KATOLIK

PEKERJAAN : MAHASISWA

Banyak orang apatis terhadap politik, bahkan dengan partai politik dan politisi. Ini khususnya terhadap anak muda Indonesia. Padahal, mereka memiliki posisi strategis dalam perjuangan perubahan bangsa.

Realitas sikap apatis anak muda ini tidak bisa dibantah. Bahkan fenomenanya bak pusaran angin yang mencapai kecepatan 120 km/jam atau angin topan.

Bayangkan, hasil survei lembaga Indikator Politik Indonesia yang dirilis Minggu (21/3/2021), ada 64,7 persen anak muda menilai bahwa partai politik atau politisi di Indonesia tidak terlalu baik atau tidak baik sama sekali dalam mewakili aspirasi masyarakat.

Stereotip tentang politik terlanjur tertanam dalam benak. Politik disebut sebagai kotor, kejam, dan penuh tipu daya.

Vlogger politik Cania Citta Irlanie mengungkapkan alasan masih banyak anak muda yang tidak suka bicara apalagi terlibat aktivitas politik.

Ada anak muda yang memilih menjauh dari politik karena mereka merasa politik itu tidak jelas.

Salah satu contoh ketidakjelasan dalam politik, menurut Cania Citta Irlanie, adalah perdebatan yang sering terjadi saat membicarakan pemilu. Banyak anak muda yang sebenarnya tidak suka dengan perdebatan yang tidak jelas dan tidak ada isinya (Tempo.co).

Padahal saat ini kita memasuki era keterbukaan informasi. Sayangnya, hal itu tidak berbanding lurus dengan antusiasme orang untuk sekadar nimbrung dalam diskusi politik.

Parahnya, kalangan terpelajar seperti mahasiswa sekalipun kadang tidak paham dengan perpolitikan di Indonesia.

Saat menghadapi pesta pemilu saja, misalnya banyak anak muda yang memutuskan untuk golput alias tidak memilih. Jika membaca hasil survei dari Lembaga Jeune & Raccord Communication memang sangat miris.

Meski dirilis tahun 2019 lalu dan tentu cukup lama, namun setidaknya hasil survei ini menjadi kisah miris bagaimana sikap apatisme anak muda untuk ikut terlibat dalam pemilu menjadi masalah serius bangsa Indonesia.

Bayangkan, hasil survei Lembaga Jeune & Raccord Communication menunjukkan kelompok milenial yang tak menggunakan hak pilih alias golongan putih (golput) pada pemilu 2019 diprediksi mencapai angka di atas 40 persen.

Entah karena apa sehingga mereka enggan untuk turut berpartisipasi dalam proses politik yang berjalan di Indonesia. Padahal satu suara saja bisa menentukan nasib bangsa ke depannya. Apalagi kalau banyak, apa yang terjadi dengan bangsa ini?.

Padahal di sisi yang lain, produk dari proses politik sebenarnya bertautan dengan hajat hidup orang banyak.

Sekelumit persoalan rendahnya partisipasi masyarakat dalam politik dan bahkan pemilu tentu menjadi preseden buruk dalam perjalanan demokrasi bangsa ini.

Maka tak berlebihan jika salah satu tawaran solutifnya adalah dengan upaya pembenahan secara serius sistem politik kita.

Sistem politik sendiri dapat didefisikan sebagai interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam proses pembuatan dan kebijakan yang terkait dengan tujuan kebaikan bersama.

Setiap negara di dunia menganut sistem politik yang bermacam-macam sesuai dengan kesepakatan negara.

Dalam sistem politik suatu negara, dikenal dua komponen utama yang menjalankan roda pemerintahan, yaitu suprastruktur politik dan infrastruktur politik.

Suprastruktur politik merupakan lembaga-lembaga yang disebut dalam konstitusi suatu negara dan menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta bertugas membuat kebijakan terkait dengan kepentingan umum.

Sementara, infrastruktur politik merupakan kelompok kekuatan politik dalam masyarakat yang turut berpartisipasi secara aktif mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Komponen infrastruktur politik seperti partai politik (parpol), kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group), dan media mesti diperkuat agar gema makna penting di balik aktivitas dan tujuan berpolitik.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa politik sebenarnya usaha yang ditempuh untuk mewujudkan kebaikan bersama. Demikian filsuf Yunani Kuno abad ke-5 S.M, Aristoteles, mendefinisikan politik.

Aristoteles menganggap politik sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik (polity) yang terbaik.
Di dalam polity semacam itu manusia akan hidup bahagia karena memiliki peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi.

Sebab itu, untuk membangkitkan gairah orang orang dalam politik maka tentu harus ada transformasi nilai moral yang lebih tinggi.

Kepentingan umum yang terkandung dalam definisi politik menurut Aristoteles, harus sebisa mungkin bermuara pada tujuan-tujuan moral atau nilai-nilai ideal seperti keadilan, kebenaran dan kebahagiaan.

Kemudian harus ada upaya konkret untuk mentransformasi atau melestarikan nilai-nilai demokrasi seperti; nilai toleransi, kebebasan mengemukakan pendapat, terbuka dalam berkomunikasi, percaya diri, tanggung jawab, dan kerja sama.

Mengapa harus diikuti dengan transformasi nilai ini? Sebab sikap partisipatif dalam politik perlu dimiliki oleh setiap warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

wartatulis

wartatulis

إرسال تعليق

أحدث أقدم

Slider

Recent in Sports

3/recentposts

Wisata

Favourite

News Scroll

Subscribe Us

Pages

Facebook