Semua Penasaran Isi Surat Itu // Cerpen Aldi Jemadut

 


(sumber.iStock)

Menjadi Imam berarti harus siap melepaskan segalanya, termasuk kedua orangtuanya.

Cuaca sore itu cukup bersahabat. Seorang lelaki tua sedang duduk persis dekat pintu depan sambil menikmati secangkir kopi yang simpan di regel dan disela jarinya sebatang rokok bermerk SAGA.

Hampir setiap tiga menit mulut mungilnya selalu menghisap rokok kesukaannya, sembari mendengar musik Nenggo Manggarai. Rupanya musik Nenggo Manggarai sangat mendalam maknanya, sehingga mukanya kelihatan sedih. Pikirannya pun tidak tenang. Memikirkan anak perempuan sulungnya yang  merantau dan tak kunjung pulang.  

Baca juga: Cerpen Sayang-sayang Berakhir Luka

Agar tidak terlarut dalam kesedihan, Ia mengambil kertas yang penuh coretan angka-angka togel atau kupon putih sambil mengutakatik hanphone androidnya untuk menggantikan lagu baru. Rupanya lagu Nenggo Manggarai tadi terlalu sedih baginya yang walaupun musiknya sedikit menggoyang jari. 

Anak sulung laki-lakinya datang kepadanya. “Ayah, bolehkah aku masuk biara?” tanya anak sulungnya itu.

Lelaki tua itu diam, bingung entah apa yang harus dibuat. Ketika Ia mendengar permintaan dari anak laki-lakinya matanya pun mulai berkaca-kaca. Rupanya Ia tidak Ijin jika anaknya itu masuk Biara atau Seminari. “Ayah, bisakah engkau menjawabku?” Anak laki-lakinya bertanya kembali kepada sang ayah. Lelaki tua itu tetap diam, seakan-akan Ia sedang berbicara dengan yang lain. Lalu, Ia bangkit berdiri dan langsung ke kamar menggantikan pakaiannya dan pergi ke kebun. 

Di kebun pun ia tidak bisa bekerja memikirkan anak perempuan sulungnya yang tak kunjung pulang dan anak laki-laki sulung yang ingin masuk biara. Pikirannya menjadi kacau. Pekerjaan tidak fokus jadinya.

Beberapa bulan kemudian, anak laki laki yang sulung diam-diam test masuk biara. Kebetulan ada beberapa orang frater dari sebuah biara yang datang ke sekolahnya. Rupanya anak laki-laki itu semakin semangat ketika melihat frater-frater berjubah putih dan terpampang rapi dengan indah salib merah pada dadanya.

Lonceng berdering, tanda semua anak kelas XII di sekolah tersebut untuk berkumpul pada sebuah ruangan. Semuanya duduk rapi dalam kelas. Para frater mulai mempromosikan biaranya. Kelihatannya anak itu sangat tertarik dan ingin sekali masuk biara. Ia tertarik karena biara yang dipromosikan oleh para frater tersebut adalah bagian melayani orang sakit. Tepat pada pukul 11.15 WITA, mereka mulai test aqiu sebagai persyaratan utama masuk pada biara tersebut. Yang test lebih dari sepuluh orang. Ia pun mulai mengerjakan soal dengan semangat tanpa beban. Ia tidak memikirkan sang ayah yang enggan menjawab permintaannya untuk masuk biara.

Sesampainya di rumah Ia selalu membayang ketika kelak Ia menjadi Misionaris. Salib merah pada dada para frater tadi sangat bermakna rupanya. Apalagi Ia baru menemukan frater yang berjubah seperti itu. Apakah itu lambang dalam pelayanan biara tersebut?, suara dalam hatinya. Begitu banyak pertanyaan tentang salib merah pada dada sang frater. 

Menjadi Imam berarti harus siap melepaskan segalanya, termasuk kedua orangtuanya. Di situ Ia mulai tidak tenang. Ia bangkit berdiri dari rebahan dan ambil handphonenya yang sedang cas lalu membuka bluetooth agar tersambung dengan speaker aktif di samping kamarnya. Lalu, Ia membuka musik kesukaannya “Indah Rencanamu Tuhan”. Lagu yang sangat didambakan olehnya. Bahkan Ia selalu pasang lagu tersebut hampir setiap jam.

“Selamat malam adik, proficiat kamu lolos masuk biara. Selamat bergabung,”, demikian pesan masuk pada whatsapp-nya. Ia pun lompat kegirangan. Saking senang dengan kelulusan itu, samapai sampai Ia tersenyum sendiri di meja makan keluarga. Tentu ada yang merasa aneh. Tingkah lakunya berubah 198%. Kedua orangtua dan saudarinya yang bungsu merasa aneh dengan tingkah lakunya. Karena sebelumnya Ia tidak seperti itu, rupanya ada sesuatu yang disembunyikan. Kedua orangtua dan saudarinya mencari tahu ada apa sebenarnya dengan anak laki-laki itu. Kebetulan namanya Martinus.  

Martinus bangkit berdiri dari meja makan dan jalan pelan menuju kamarnya. Ia ambil sebuah amplop yang berisikan surat penerimaan masuk biara. “Amplop apa itu?”, tanya saudarinya yang bungsu sambil minum segelas air putih. Ibunya juga bertanya, “amplop apa itu nana?”. Lalu, sang ayah langsung memotong pertanyaan ibunya, “mungkin undangan pesta sekolah dari tetangga sebelah”. Martinus diam dan tidak berbicara, Ia meneteskan air matanya sebagai simbol minta restu dari orangtuanya. Lima belas menit lamanya Ia enggan berbicara. Orang-orang disekitarnya ikut diam. Tidak satu pun berbuka suara, semacam ada musuh yang lewat di luar rumah.

Lalu, Martinus menyodorkan amplop yang berisi surat kelulusan itu kepada orangtuanya. Ayahnya menerima amplop tersebut dan membuka dengan penuh penasaran isi dari amplop tersebut. Rupanya ayahnya tidak begitu lancar membaca. Ia menyodorkan amplop itu ke anak perempuannya yang bungsu. Ia membuka dan membaca perlahan. Orangtuanya penasaran dengan isi surat-surat tersebut. Orangtuanya melihat air mata menetes pada pipi mungil anak perempuan mereka. Lalu perempuan tersebut mengatakan demikian, “Bapa, mama, Martinus masuk biara dan dia lolos”. Semuanya diam. Martinus tertunduk, mungkin sebagai tanda minta restu dari orangtuanya.

Beberapa minggu kemudian kedua orangtuanya menyetujui keputusan Martinus untuk masuk biara. “Martinus sini dulu”, panggil sang ayah. “Iya bapa bagaimana?” tanya Martinus.  “Martinus, bapa dan mama sangat setuju jika kamu masuk biara,”, suara serak dari ayahnya sambil meneteskan air matanya.

Dua bulan kemudian, tibalah saatnya Martinus masuk biara. Sang ayah mengantarnya sampai depan pintu biara itu. Sampai saat ini Martinus merasa nyaman. Tidak tahu besok lusa. Bagaimana Martinus selanjutnya, masih lanjut hidup membiara ataukah Ia tarik diri? 

Nanti di ulas lebih lanjut.

 

wartatulis

wartatulis

إرسال تعليق

أحدث أقدم

Slider

Recent in Sports

3/recentposts

Wisata

Favourite

News Scroll

Subscribe Us

Pages

Facebook