Satu Spirit: Mengobati Penderitaan ODGJ

Oleh Agust Gunadin, Penghuni San Camillo dan Pemerhati ODGJ. 
Editor Aldi J
(Foto pribadi)

Martabat manusia tidak pernah memandang status sosial, keadaan ekonomi dan kondisi fisik yang dialaminya.

    Semua orang tentu sepakat bahwa kehadiran ilmu pengetahuan apapun nama dan idealismenya selalu bertujuan untuk meluhurkan kemanusiaan. Begitu juga kehadiran teologi sosial-politik yang sedang dihidupi sekarang ini menuntut setiap orang untuk mengusai doktrin sekaligus menguasai situasi yang sedang berkembang di masyarakat. Pelaku teologi sosial-politik memiliki keberimanan yang relasional. Iman yang bukan hanya berkenan dengan doktrin, melainkan juga mengutamakan tindakan konkret. Di dalamnya iman tidak bisa lepas dari evangelisasi yang menggugah dan mendorong tindakan praksis.


    Dalam bahasa teolog Edward Schillbeeckx, teologi sosial-politik memiliki konfrontasi antara tradisi Kristiani dan konteks sosial tertentu. Teologi yang berangkat dan berakar dari masyarakat serta menimba inspirasi dari masyarakat (Fransiskus Borgias, 2009:36). Dengan kata lain teologi sosial-politik menjadikan konteks sosial sebagai medan untuk berteologi.


    Sebagai salah-satu medan berteologi saat ini menjadi penting ialah bagaimana usaha teologi mampu mengurangi atau menghilangkan budaya diskriminasi dan stigmatisasi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di tengah masyarakat. Sebab, banyak kenyataaan pahit yang dialami ODGJ menunjukkan bahwa masyarakat sekarang ini mulai menumbuhkan budaya pengasingan terhadap kondisi ODGJ. Masyarakat tidak lagi melihat unsur kemanusiaan dalam diri ODGJ. Sebaliknya, masyarakat memandang ODGJ sebagai orang ganjil yang tidak sama dengan manusia pada umumnya. 


    Padahal, bila melihat lagi ke belakang bahwa proses penciptaan manusia itu selalu sama. Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia memiliki martabat yang sama. Sebagai makhluk yang bermartabat, setiap orang berharga bagi dirinya sendiri, berharga di hadapan sesama dan berharga di hadapan Tuhan sebagai penciptaNya. Martabat manusia tidak pernah memandang status sosial, keadaan ekonomi dan kondisi fisik yang dialaminya. Martabat adalah sesuatu yang lahiriah sudah ada sejak manusia masih dalam kandungan ibu. 


    Terhadap pentingnya memberikan penghargaan terhadap manusia, Paus Yohanes Paulus II menegaskan, manusia adalah pribadi yang unik dan tak tergantikan oleh siapapun. Oleh karena itu, setiap orang dipanggil untuk menjaga dan menghargai martabat sesama manusia. Hal ini dituliskan Paus Yohanes Paulus II dalam Gaudium et Spes artikel 27:


  “Setiap orang harus memberikan hormat terhadap sesama manusia. Tak seorang pun memandang yang lain ‘di luar bagian dari dirinya’. Selalu melihat orang lain sebagai bagian dari keberadaan diri. Jangan meniru orang kaya yang sama sekali tidak mempedulikan Lasarus yang miskin” (Agus M Hardjana, 1997:14).


    Pernyataan Paus Yohanes Paulus II di atas adalah suatu penegasan sekaligus memberikan alarm kepada manusia yang hidup pada zaman sekarang ini bahwa penting untuk menghargai martabat ODGJ. Paus mengeluarkan pernyataan seperti ini, karena melihat kenyataan bahwa seringkali masyarakat memandang sesama manusia sebagai objek yang pantas didiskriminasi, dipinggirkan dan dilecehkan. Hal ini dialami oleh Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Kabupaten Sikka. Menurut data yang dihimpun Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka, tahun 2021 terdapat 1122 orang mengalami gangguan jiwa. Dari jumlah ini, ODGJ yang mengalami gangguan jiwa berat sejumlah 790 orang, selebihnya mengalami gangguan jiwa ringan. ODGJ di Kabupaten Sikka sampai dengan saat ini belum mendapatkan perlindungan yang maksimal dari pihak pemerintah maupun lembaga keagamaan lainnya.


    Secara sepintas memang pihak pemerintah Kabupaten Sikka menyediakan obat-obat bagi ODGJ. Tetapi, obat-obat tersebut tidak setiap bulan bisa didapatkan oleh ODGJ. Masih banyak ODGJ kurang mendapatkan obat secara rutin perbulan. Ketiadaan mendapatkan obat untuk dikonsumsi ODGJ juga disebabkan karena harga obat di apotik-apotik tidak dapat dijangkau oleh ODGJ maupun keluarganya. Akibatnya, ODGJ yang kurang mengonsumsi obat secara rutin bisa kambuh kembali dari sakit gangguan jiwanya.


    Tentu, dari data di atas memperlihatkan bahwa jumlah penduduk yang mengalami gangguan kejiwaan di Kabupaten Sikka cukup banyak. Jumlah ini menuntut perhatian serius dari segenap elemen yang ada di Kabupaten Sikka. Setiap elemen pemerintah maupun swasta perlu terlibat. Tidak ada gunanya lagi mempersoalkan bahwa masalah gangguan kejiwaan dari sebagiaan masyarakat Kabupaten Sikka semata-mata tanggung jawab pemerintah. Ini adalah masalah sosial yang membutuhkan tanggung jawab semua orang.


    Sesuai dengan arti etimologi, kata sosial (socius) dalam bahasa Latin berkenan dengan kawan, kawanan, masyarakat mengandung makna perhatian terhadap kepentingan orang lain, sesama dan masyarakat seluruhnya. Kehidupan sosial merupakan lawan dari sikap egoisme, baik egoisme individual maupun egoisme kelompok. Sikap sosial diartikan sebagai kepedulian terhadap nasib golongan dan anggota masyarakat yang menderita akibat kepincangan yang terdapat dalam sistem dan struktur masyarakat tertentu. Maka, penggunaan kata sosial seharusnya juga perlu dimiliki oleh Gereja Katolik. Di mana penghayatan iman yang benar, dalam arti tidak egosentris dan narsistis selalu merupakan penghayatan iman yang sosial. Tanpa ada dimensi sosial sesungguhnya tak ada iman yang benar (Peter C. Aman, 2009: 69).


    Konsep iman Kristen selalu ada korelasi antara pengakuan iman dan perbuatan nyata. Iman sebagai pengajuan dapat menjadi suatu penipuan dan pemalsuan belaka, jikalau tidak dibuktikan dalam perbuatan dan gaya hidup. Iman bagaikan suatu pohon yang dapat dikenal dan diidentifikasi lewat buah-buah yaitu perbuatan-perbuatan konkret. Hubungan antara pohon dan buah dilihat sebagai metafora hubungan antara iman dan perbuatan yang sering digunakan Yesus dalam pewartaan-Nya (bdk. Luk. 6:44). Yesus memberikan tempat utama perbuatan iman ketimbang pengakuan iman secara verbal dan seremonial. Yesus mengatakan dengan tegas: ‘bukan semua orang yang mengatakan Tuhan, Tuhan akan masuk ke dalam Kerajaan Surga melainkan mereka yang melaksanakan kehendak Bapa di Surga (bdk. Mat.7:22).


    Selain itu, pemerintah yang memiliki sistem politik seharusnya memandang persoalan ODGJ di Kabupaten Sikka terjadi akibat adanya struktur perbedaan hak, lemahnya tanggungjawab, dan lemahnya keberpihakan terhadap mereka. Masyarakat beroptimis terhadap pemerintah apabila sistem politik pemerintah memiliki strategi dan kalkulasi rasional dan realistis menekan lajunya peningkatan jumlah ODGJ. Tentu untuk mencapai tujuan itu, pemerintah perlu memiliki spirit perjuangan. Perjuangan untuk membela dan menghidupkan kembali kemanusiaan ODGJ.

 


wartatulis

wartatulis

2 تعليقات

  1. Mantap ulasanya tuang Gunadin. Semoga bentuk kepedulian terhadap odgj tidak hanya sebatas seruan moral. Melainkan kerja kerja nyata.

    ردحذف
  2. kebetulan dia pemerhati ODGJ khusus pasien SanCamillo punya

    ردحذف
أحدث أقدم

Slider

Recent in Sports

3/recentposts

Wisata

Favourite

News Scroll

Subscribe Us

Pages

Facebook