Penulis: Ronaldus Firman
Editor: Aldi Jemadut
Bangsa
Indonesia merupakan bangsa yang memiliki keanekaragaman suku, budaya,
adat-istiadat, agama atau keyakinan. Keanekaragaman ini memberi warna tersendiri
akan eksistensi bangsa Indonesia di mata bangsa-bangsa lain. Keanekaragaman ini
turut membentuk cara hidup, tingkah laku dan pola pikir masyarakat. Selain itu,
sebagai bangsa yang sedang berkembang berbagai institusi baik sosial, budaya,
ekonomi, pendidikan pun kesehatan masing-masing bekerja dalam membangun bangsa
ini. Keanekaragaman budaya dan cara hidup turut mempengaruhi pola pikir
masyarakat tentang eksistensinya. Tentang kehidupan dan kematian termasuk
tentang cara hidup yang sehat. Berkaitan dengan yang terakhir ini, berbagai
usaha melalui tradisi, ritus-ritus, pengobatan tradisional sering ditemukan dalam setiap budaya
masyarakat terutama di saat menghadapi sebuah penderitaan. Di tengah pluralitas
cara mempertahankan kesehatan, patut dipertanyakan kembali peran sentral
institusi kesehatan kekinian atau pola keperawatan moderen. Apakah eksistensi dunia
kesehatan moderen dapat mengeliminasi gaya pengobatan kultur. Ataukah ada
kemungkinan kolaborasi keduanya.
Dalam
konteks ulasan ini, penulis lebih tertarik dengan peran petugas kesehatan dalam
konteks pelayanan transrkultural. Hemat penulis hal ini sangat urgen untuk
ditelaah terutama di tengah pluralitas atau kemajemukan budaya yang turut
mewarnai bangsa Indonesia. Perawatan transklutural perlu diperhatikan untuk
meminimalisir tejadinya pelayanan yang tidak menyeluruh atau pelayanan yang
tidak merata. Pelayanan transtruktural menuntut tanggung jawab etis seorang perawat berhadapan keanekaragaman budaya, kebiasaan, keyakinan dan
tradisi dari pasien. Pencetus konsep keperawatan transkultural yang diangkat
adalah konsep keperawatan gaya Madeline Leininger.
Lebih Dekat dengan Madeline Leininger
Keperawatan transtruktural adalah konsep baru dalam dunia keperawatan yang mementingkan nilai-nilai budaya pada pelayanan. Pencetus konsep keperawatan transkultural adalah Madeline Leininger, perempuan kelahiran Sutton 13 Juli 1925. Ia adalah pendiri sekaligus pimpinan internasional keperawatan transtruktural. Karirnya sebagai seorang perawat diawali pada tahun 1945 kala Ia menjadi kader di korps perawat serta mengambil diploma di sekolah perawat St. Anthony, Denver. Tahun 1948 Ia berhasil menyelesaikan diploma keperawatan. Dua tahun setelah itu Leininger menerima gelar sarjana dalam ilmu biologi dari Benedictine College di Atchion, Kansas.[1] Sepanjang kariernya sebagai perawat I kemudian mulai mengadakan sertifikasi gelar perawatan transkultural. Pada tahun 1974 beliau mendirikan organisasi profesional termasuk keperawatan trnastruktural masyarakat. Dua tahun setelah itu Leininger menjabat sebagai presiden pertama dari American Association of Colleges of Nursing. Dalam konsep keperawatan transtruktural yang dicetuskannya, Leiniger mengakui betapa pentingnya konsep pelayanan keperawatan melalui tindakan membantu, mendukung atau memfasilitasi pelayanan agar sesuai dengan keadaan individu, kelompok, atau nilai-nilai budaya.[2]
Lebih lanjut Leininger mengidentifikasi bahwa dalam pelayanan keperawatan masih terdapat kekurangan yang terletak pada minimnya pengetahuan dari pihak perawat tentang budaya pasien. Hematnya, pengetahuan budaya telah hilang dari rantai pelayanan untuk mendukung kepatuhan, penyembuhan dan kesehatan pasien. Gagasan Leininger mau menegaskan bahwa perbedaan budaya dalam perawatan mesti diperhatikan dengan menghargai nilai budaya individu atau pasien yang dilayani. Di sini, kepedulian terhadap budaya atau kebiasaan pasien adalah tindakan langsung yang dilakukan untuk mengarahkan, membimbing dan mendukung individu maupun keluarga pada keadaan yang nyata untuk memperbaiki kondisi kehidupan manusia.[3] Terlihat jelas dalam pandangan Leininger betapa pentingnya mengafirmasi pengaruh nilai-nilai atau kebiasaan dalam kebudayaan masyarakat setempat di mana pelayanan keperawatan itu dilakukan.
Masyarakat didefinisikan sebagai kumpulan orang-orang yang berinteraksi satu sama lain dalam ssatu wilayah tertentu serta menghayati kebudayaan tertentu pula.[4] Dalam masyarakat terdapat nilai-nilai budaya, norma, kebiasaan atau adat istiadat yang turut mempengaruhi kehidupan masyarakat. Pada kenyataanya, dalam kehidupan masyarakat terdapat institusi-institusi yang saling berinteraksi satu sama lain seperti politik, ekonomi, pendidikan, keluarga dan kesehatan. Dalam konteks dunia kesehatan masyarakat memiliki kebiasaan tersendiri dan perspektif tersendiri tentang kesehatan, baik konsep tentang sehat dan sakit maupun tentang perawat atau tenaga kesehatan dalam menghadapi masyarakat.
Dalam pelayanan kesehatan merupakan sesuatu yang lumrah di mana ada perawat atau pelayan medis yang memiliki kecenderungan untuk memaksakan atau menerapkan kepercayaan dan praktik terhadap budaya orang lain. Hal ini terjadi karena kurangnya penerimaan (acceptance) dari perawat itu sendiri terhadap kebiasaan atau tradisi setempat di mana pengobatan dan proses penyembuhan pasien dilakukan. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa para medis atau perawat itu sendiri memiliki konsep bahwa pengetahuan atau keahliannya memiliki nilai yang lebih tinggi dari pada orang lain.[5]
Di tengah persoalan keterbatasan para medis dalam pelayanan, para pelayanan medis dihadapkan dengan realitas budaya yang majemuk. Di hadapan kenyataan yang tidak bisa dielakan seperti ini, petugas medis atau pelayan kesehatan mesti mampu mengelaborasi kemampuan atau profesionalismenya dengan kebiasaan atau kebudayaan pasien. Dalam keadaan seperti ini seorang perawat harus pandai mengolah kapasitas diri yakni profesionalismenya berhadapan dengan kemajemukan budaya terutama kebudayaan atau tradisi yang dianut seorang pasien. Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan oleh seorang perawat dalam pelayanan keperawatan transkultural yaitu kesadaran diri (awareness), penerimaan (acceptence) dan bertanya (asking).
Kesadaran Diri (Awareness)
Salah satu hal paling penting yang ditekankan dalam pelayanan keperawatan lintas budaya adalah adanya kesadaran diri dari seorang pelayan atau perawat. Kesadaran diri disini menyangkut posisi seorang perawat yakni harus mengenal budayanya sendiri. Perawat diharapkan menyadari identifikasi budaya mereka sendiri sebelum melakukan pelayanan. Hal ini sangat membantu untuk menghindari kebiasaan pemaksaan dari pihak perawat, dalam arti bahwa perawat tidak boleh memaksa klien khususnya pasien untuk mengikuti gaya perawatan budaya dari perawat tersebut. Selain itu, kesadaran akan budaya atau kebiasaan perawat sendiri dapat menghindari terjadinya diskriminasi, penindasan dan rasisme serta stereotip terhadap pasien yang ditolong.[6]
Sebagai contoh, jika pada suatu kesempatan seorang perawat mengetahui bahwa pasien yang dilayani berpartisipasi dalam pengobatan tradisional dengan mengkonsumsi berbagai ramuan, maka tanpa mengenal keyakinannya sendiri, seorang perawat mungkin menganggap hal tersebut hanya sebatas praktik kuno atau primif tanpa makna tetapi bagi pasien hal itu mungkin menjadi bagian dari proses penyembuhan. Keadaan seperti ini menuntut kesadaran diri dari seorang perawat tentang makna dari ritus-ritus atau praktik-praktik pengobatan tersebut.
Penerimaan (Acceptance)
Salah satu aspek penting dalam pelayanan keperawatan transtruktural adalah adanya aspek penerimaan diri, baik dari pihak perawat maupun dari pasien sendiri. Dalam kenyataannya orang yang sakit berat tidak jarang mengalami kegoncangan dalam hidup. Pasien dalam keadaan seperti ini berada dalam perjuangan menemukan kebahagiaan hidup. Di sini terdapat benturan antara harapan dan kenyataan hidup. Di sini pasien terkadang pasrah dan tidak mau menerima diri. Pasien merasa gelisah, cemas dan takut. Hal ini diperparah ketika seseorang merasa tidak diterima dan merasa dilupakan oleh pihak lain. Mungkin karena latar belakang budaya, sosial, pendidikan maupun ekonomi. Berhadapan dengan kenyataan seperti inilah seorang perawat mesti hadir untuk memberikan peneguhan, motivasi dan kekuatan untuk pasien.
Dalam konteks keperawatan transtruktural, seorang perawat atau dokter yang berpengalaman akan mengatakan kepada pasiennya bahwa kunci kesembuhan adalah mencintai diri dan menerima diri sendiri. Dalam relasi antara perawat dengan pasien mesti ada komunikasi yang hangat dan diakari dengan nuansa solidaritas dan persaudaraan. Bagaimana perawat mengajak pasien untuk mencintai dan menerima diri. Perawat dalam posisinya sebagai agen penyembuhan mesti juga menerima pasien apa adanya tanpa adanya rasisme, penolakan dan diskriminasi. Dengan demikian perawat akan menjadi agen penyembuhan dengan cara yang sederhana.
Bertanya (Asking)
Keanekaragaman
tradisi, kebiasaan atau budaya pasien menjadi tantangan tersendiri bagi seorang
perawat dalam pelayanannya. Budaya pasien tidaklah tetap tetapi selalu berubah
sesuai dengan tuntutan zaman dengan berbagai praktik yang memiliki makna
simbolis. Karena itu perawat sendiri mesti pandai untuk bertanya terutama
berkaitan dengan makna, arti dan tujuan setiap upaya penyembuhan tradisional
pasien. Perawat idealnya tidak perlu menolak gaya pengobatan budaya dari
pasien, sejauh pengobatan itu tidak bertentangan dengan keselamatan kesehatan
dari pasien. Perawat sebaiknya sebelum melakukan perawatan mesti menanyakan
apakah ada praktik budaya, agama atau keyakinan yang dapat mendukung pemenuhan
kebutuhan pasien. Di sini terdapat nuansa komunikatif antara perawat dan pasien
dalam mendukung penyembuhan dari pasien itu sendiri.
[1]Dewi Murdiyanti Prihatin Putri, Keperawatan Transtruktural: Pengetahuan dan
Praktik Berdasarkan Budaya (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, ), hlm. 39-40.
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. 43.
[4] Bernard Raho, Sosiologi (Maumere: Ledalero, 2016), hlm. 157.
[5] Dewi Muryadi Prihatin Putri, op. cit., hlm. 44.
[6] Ibid., hlm. 26.