Namaku Cihiciliah Mafanah Putri
Naban, usiaku dua puluh tahun. Aku seorang putri tunggal yang hidup dibawah
aturan orangtuaku. Ayahku sudah meninggal dunia. Dia adalah seorang kepala
keluarga yang cukup keras.
Menjadi seorang putri
tunggal bukanlah suatu kebanggaan, melainkan sebuah penderitan. Selama Aku
hidup bersama Ibuku segala sesuatu diatur mulai dari caraku berpakaian hingga
dengan siapa Aku berteman. Begitu banyak luka yang Aku alami, yeah bagaimana
lagi, begitulah hidup. Ada susah dan ada senang.
Waktu itu tahun 2018, masa
dimana Aku mengenal dunia kebebasan, ibarat lepas dari penjajahan. Aku pun
merasa merdeka. Saat itu Aku belajar hidup mandiri, besar tekad dalam diri
untuk merantau demi mimpi yang masih menghatuiku agar kelak Aku bahagia dan
bijaksana.
Makasar adalah tempat dimana Aku memulai semua yang diimpikan dengan bermodal ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA). Di situlah Aku memulai hal yang menurutku baru dan siap untuk memulai. Sekitar sebulan lamanya bekerja, Aku pun bertemu dengan seorang pria yang tampan, gagah dan baik hati. Johan, itulah namanya. Dia pekerja keras dan juga seorang putra tunggal. Aku denganya sama-sama tunggal. Sebulan kenalan akhirnya kami memutuskan untuk tinggal bersama seperti suami istri. Dia pun memperkenalkan Aku pada orangtuanya serta semua keluarga yang ada di kampung halaman.
Aku pun diterima baik. Setiap hari orangtua dari suamiku Johan selalu memberi kabar. Pada suatu hari mereka menelpon dan menyuruh kami pulang untuk urus adat. Ini adalah kabar gembira bagi suamiku, mukanya kelihatan senang kegirangan. Itu semua berbanding terbalik dengan keadaanku. Aku merasa salah dengan semua itu, hingga dalam hatiku berkata “Tuhan beri Aku jawaban atas semua ini”. Saat itu suamiku bertanya ”sayang apakah kamu keberatan kalau kita pulang ke kampung? Aku pun diam seribu bahasa. Ia pun menatapku dengan penuh harapan agar aku bersedia pulang bersamanya.
Ke-esokan harinya, Ia pergi
membeli tiket tanpa sepengetahuanku. Aku pun tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Dua hari kemudian kami pulang ke kampung sang suami. Langkah kakiku berat,
hingga menangis tak sanggup meninggalkan kota Makasar.
Singkat cerita, sampai di
kampung sang suami, kami diterima dengan baik, dan diterima secara adat oleh keluarganya. Saat
itu ibu mertuaku tidak ada di rumah, dalam hati aku berkata ”Tuhan
apakah ini pertanda buruk? kenapa ibu mertuaku tidak ada di rumah disaat-saat seperti
ini?” Pertanyaan ini muncul pada pikiranku seketika. Dua hari kemudian ibu
mertuaku muncul dari arah Utara. Pantasan Ia tidak ada waktu kami datang,
ternyata ke kampungnya. Saat ibu mertuaku pulang, Aku menyambutnya di pintu masuk rumah dengan
penuh senyum.
Beberapa bulan kemudian Aku
di rumah suamiku baik-baik saja. Dua bulan setelah itu kebahagianku berubah seketika, seperti
kehidupan di neraka. Aku menderita. Segala sesuatu yang Aku lakukan selalu saja
salah dimata mertuaku, bahkan namaku selalu diceritakan disana-sini. Ibarat
berkoarnya janji para politisi yang tak kunjung terealisasi. Bahkan mertuaku
membujuk suamiku untuk jangan betah di rumah. Lebih perihnya lagi, Ia mertua
mengambil semua uang hasil kerja suamiku. Tak tahu aku makan apa besok. Statusku
sebagai seorang isteri dan menantu dikeluarga itu hanya sekedar untuk diketahui
oleh tetangga.
Aku tidak peduli. Terkadang
Aku menangis seorang diri di kamar. Pada suatu hari tanpa sengaja Aku mendengar
cerita dari tetangga, aku dijuluki sebagai ”MENANTU KREDIT”. Dalam hati aku berkata, “setega
inikah mertuaku?” Tuhan berikan Aku jalan untuk jauh dari penderitaan
ini. Setelah mengetahui semuanya itu, Aku diam tak bicara satu katapun kepada
suamiku. Ketika suamiku melihatku sedih, Iya pun bertanya ”sayang
ada apa dengan dirimu? Kok kamu diam dan sedih? Aku tidak menghirau ucapan
suamiku. Aku diam.
Pada saat sebelum tidur
malam, Aku menangis dan memohon kepada suami untuk pindah dari rumah mertua.
Aku tidak sanggup hidup bersama Mak Lampir. Suamiku kelihatan bingung, apa yang
terjadi. Dia pun hanya diam sambil menatap ke langit-langit kamar. Ke-esokan
harinya Aku minta izin ke suami untuk pulang ke rumah orangtuaku. Sampai di
rumah orangtuaku, Aku mencerita semua apa yang terjadi dalam rumah tanggaku.
Setelah Aku menceritakan semua, sang ibu meratapku dan menyuruhku untuk pergi
kuliah.
Satu Minggu setelah itu, Aku kembali
ke rumah suamiku, dan dijemput olehnya. Tepat pada sore hari. Sampai di rumah
sang suami, Aku menceritakan kepada suamiku untuk menyampaikan pesan dari Ibuku
tadi.
Sayang
Aku mau ngomong sesuatu”.
Kamu
mau ngomong apa, omong saja tidak usah malu, jawabnya singkat.
Sayang,
Ibuku menyuruh untuk kuliah, kamu setuju nggak?” tanyaku lanjut.
Aku
sih setuju-setuju aja. tapi biayanya dari mana? kamu mau aku merantau untuk
biaya kuliah kamu? Jawab suamiku penuh sedih
Iya
enggak apa-apa. Jawabku singkat, dan menetes air mata pada pipiku yang bebas jerawat.
Akhirnya pun kami
bersepakat. Aku pergi kuliah, suamiku pergi merantau untuk mencari dana
pembiayaan kuliahku.
Tepatnya pada bulan
September Aku pun kembali ke Makasar dan siap untuk kuliah. Tak berselang lama,
suami ku datang ke Makasar dan mencari pekerjaan. Setelah Aku pulang kuliah,
suamiku meminta kepadaku untuk merantau di Kalimantan. Aku pun meng-iya-kan
permintaanya. Seminggu kemudian, Aku mengantarnya di pelabuhan, tepat pukul
tiga subuh.
Tiga bulan lamanya, dia
hilang kabar. Aku mendengar isu dari teman-teman sekosku kalau dia sedang menjalin
hubungan asmara dengan seorang janda anak satu. Kebetualan janda itu sahabat
lamaku. Saking penasaran, Aku pun bertanya langsung pada suamiku. Setelah
berbicara panjang lebar dengannya, ternyata benar dia sedang menjalin hubungan
asmara dengan perempuan itu.
Setahun berlalu, akhirnya
mantan suamiku itu menikah dengan perempuan itu dan dikaruniai seorang putri
cantik.