Matahari dan awan seperti sepasang kekasih. Angin laksana kuda yang mengantarkan awan kepada matahari. Matahari dan awan di langit seperti sedang bercinta. Awan pun membentang di sepanjang langit bagaikan pengantin wanita yang sedang menunggu suaminya di malam pertama.
Matahari pun datang menghampiri seperti seorang pangeran yang berkilau-kilauan mendekati awan dengan cahayanya yang menggoda. Percintaan itu sangat indah, senyap, membuat awan menghitam di atas langit seperti sedang mengandung.
Baca juga TINGKATKAN PARTISIPASI SISTEM POLITIK HARUS DIIUKUTI TRANSFORMASI NILAI
Suara guntur dan kilatnya seperti gerangan wanita bersalin yang berteriak kesakitan ditengah-tengah semesta, sedangkan matahari sedang menemani awan yang sedang bersalin hingga cahayanya redup di atas bumi.
Lalu muncullah hujan adalah kelahiran baru laksana bayi yang dijatuhkan ke bumi. Hujan turun ke atas bumi, deru airnya membasahi bumi bagaikan tangisan bayi, sekaligus berduka. Sebab awan itu akan segera mati dan menghilang.
Sebuah perpisahan yang tak terkatakan mengalir dalam suasana penyesalan, rintik-rintik hujan tak pernah membenci awan yang akan segera sirna. Sebuah pesan dan larangan dari seorang ibu kepada anaknya pun tak sempat tersampai.
Duka dan berkat yang terjatuh dari ranjang langit, bumi yang sudah mengetahuinya membuka tangannya memberikan pelukan pada hujan yang menetes dan mengalir dari aliran muda menuju dewasa. Lalu terkumpul dalam lautan.
Di sana Ia mati berinkarnasi menguap lalu naik ke atas langit lagi serta bertemu cinta sejatinya, yaitu cahaya matahari yang sudah menunggu dengan resah serta kesepian. Ia naik dengan gagah dan elok menuju langit dengan tersenyum dan menghampiri kekasihnnya lagi.
Ia meninggalkan bumi dengan sebuah janji "Aku akan datang lagi kepada mu, rumahku".